jual beli yang terlarang

Perdagangan ataupun kegiatan yang berkaitan dengan jual beli lainnya seperti memproduksi suatu barang kebutuhan umat manusia, menerima jasa dan sebagainya bukanlah sebuah perbuatan yang dilarang oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Alloh Subhanahu wa Ta’ala membolehkan jual beli bagi hamba-Nya selama tidak melalaikan dari perkara yang lebih penting dan bermanfaat. Seperti melalaikannya dari ibadah yang wajib atau membuat madharat terhadap kewajiban lainnya. Dan juga selama segala sesuatu yang di perjual-belikan itu bukanlah sesuatu yang bertentangan atau dilarang oleh Syariat Islam.

Jual Beli Ketika Panggilan Adzan

Jual beli tidak sah dilakukan bila telah masuk kewajiban untuk melakukan shalat Jum’at. Yaitu setelah terdengar panggilan adzan yang kedua, berdasarkan Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Alloh dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS: Al Jumu’ah: 9).

Alloh Subhanahu wa Ta’ala melarang jual beli agar tidak menjadikannya sebagai kesibukan yang menghalanginya untuk melakukan Shalat Jum’at. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengkhususkan melarang jual beli karena ini adalah perkara terpenting yang (sering) menyebabkan kesibukan seseorang. Larangan ini menunjukan makna pengharaman dan tidak sahnya jual beli. Kemudian Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengatakan “yang demikian itu”, yakni “perkara meninggalkan jual beli dan menghadiri Shalat Jum’at adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui akan maslahatnya”. Maka, melakukan kesibukan dengan perkara selain jual beli sehingga mengabaikan shalat Jum’at adalah juga perkara yang diharamkan.

Demikian juga shalat fardhu lainnya, tidak boleh disibukkan dengan aktivitas jual beli ataupun yang lainnya setelah ada panggilan untuk menghadirinya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Bertasbih kepada Alloh di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Alloh, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Alloh memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Alloh menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Alloh memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS: An-Nur: 36-38).

Jual Beli Untuk Kejahatan

Demikian juga Alloh Subhanahu wa Ta’ala melarang kita menjual sesuatu yang dapat membantu terwujudnya kemaksiatan dan dipergunakan kepada yang diharamkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Karena itu, tidak boleh menjual sirup yang dijadikan untuk membuat khamer karena hal tersebut akan membantu terwujudnya permusuhan. Hal ini berdasarkan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Janganlah kalian tolong-menolong dalam perbuatuan dosa dan permusuhan” (AL Maidah: 2)

Demikian juga tidak boleh menjual persenjataan serta peralatan perang lainnya di waktu terjadi fitnah (peperangan) antar kaum muslimin supaya tidak menjadi penyebab adanya pembunuhan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah melarang dari yang demikian.

Ibnul Qoyim berkata “Telah jelas dari dalil-dalil syara’ bahwa maksud dari akad jual beli akan menentukan sah atau rusaknya akad tersebut. Maka persenjataan yang dijual seseorang akan bernilai haram atau batil manakala diketahui maksud pembeliaan tersebut adalah untuk membunuh seorang Muslim. Karena hal tesebut berarti telah membantu terwujudnya dosa dan permusuhan. Apabila menjualnya kepada orang yang dikenal bahwa dia adalah Mujahid fi sabilillah maka ini adalah ketaТatan dan qurbah. Demikian pula bagi yang menjualnya untuk memerangi kaum muslimin atau memutuskan jalan perjuangan kaum muslimin maka dia telah tolong menolong untuk kemaksiatan.”

Menjual Budak Muslim kepada Non MuslimAlloh Subhanahu wa Ta’ala melarang menjual hamba sahaya muslim kepada seorang kafir jika dia tidak membebaskannya. Karena hal tersebut akan menjadikan budak tersebut hina dan rendah di hadapan orang kafir. Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya:  “Alloh sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS: An-Nisa’: 141).

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Islam itu tinggi dan tidak akan pernah ditinggikan atasnya” (shahih dalam Al Irwa’: 1268, Shahih Al Jami’: 2778)

Jual Beli di atas Jual Beli SaudaranyaDiharamkan menjual barang di atas penjualan saudaranya, seperti seseorang berkata kepada orang yang hendak membeli barang seharga sepuluh, Aku akan memberimu barang yang seperti itu dengan harga sembila.. Atau perkataan Aku akan memberimu lebih baik dari itu dengan harga yang lebih baik pula. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tidaklah sebagian diatara kalian diperkenankan untuk menjual (barang) atas (penjualan) sebagian lainnya.” (Mutafaq alaihi).

Juga sabdanya, yang artinya: “Tidaklah seorang menjual di atas jualan saudaranya” (Mutfaq Сalaih)Demikian juga diharamkan membeli barang di atas pembelian saudaranya. Seperti mengatakan terhadap orang yang menjual  dengan harga sembilan: Saya beli dengan harga sepuluh. Pada zaman ini betapa banyak contoh-contoh muamalah yang diharamkan seperti ini terjadi di pasar-pasar kaum muslimin. Maka wajib bagi kita untuk menjauhinya dan melarang manusia dari pebuatan seperti tersebut serta mengingkari segenap pelakunya.

Samsaran

Termasuk jual beli yang diharamkan adalah jual belinya orang yang bertindak sebagai samsaran, (yaitu seorang penduduk kota menghadang orang yang datang dari tempat lain (luar kota), kemudian orang itu meminta kepadanya untuk menjadi perantara dalam jual belinya, begitupun sebaliknya). Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya: “Tidak boleh seorang yang hadir (tinggal di kota) menjualkan barang terhadap orang yang baadi (orang kampung lain yang datang ke kota)”.Ibnu Abbas Radhiallahu anhu berkata: Tidak boleh menjadi Samsar baginya (yaitu penunjuk jalan yang jadi perantara penjual dan pemberi). Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Biarkanlah manusia berusaha sebagian mereka terhadap sebagian yang lain untuk mendapatkan rizki Alloh” (HR: Shahih Tirmidzi, 977, Shahih Al Jami’ 8603)

Begitu pula tidak boleh bagi orang yang mukim untuk untuk membelikan barang bagi seorang pendatang. Seperti seorang penduduk kota (mukim) pergi menemui penduduk kampung (pendatang) dan berkata Saya akan membelikan barang untukmu atau menjualkan. Kecuali bila pendatang itu meminta kepada penduduk kota (yang mukim) untuk membelikan atau menjualkan barang miliknya, maka ini tidak dilarang.

Jual Beli dengan Сinah

Diantara jual beli yang juga terlarang adalah jual beli dengan cara Сinah, yaitu menjual sebuah barang kepada seseorang dengan harga kredit, kemudian dia membelinya lagi dengan harga kontan akan tetapi lebih rendah dari harga kredit. Misalnya, seseorang menjual barang seharga Rp 20.000 dengan cara kredit. Kemudian (setelah dijual) dia membelinya lagi dengan harga Rp 15.000 kontan. Adapun harga Rp 20.000 tetap dalam hitungan hutang si pembeli sampai batas waktu yang ditentukan. Maka ini adalah perbuatan yang diharamkan karena termasuk bentuk tipu daya yang bisa mengantarkan kepada riba. Seolah-olah dia menjual dirham-dirham yang dikreditkan dengan dirham-dirham yang kontan bersamaan dengan adanya perbedaan (selisih). Sedangkan harga barang itu hanya sekedar tipu daya saja (hilah), padahal intinya adalah riba.

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Jika kalian telah berjual beli dengan cara Сinah dan telah sibuk dengan ekor-ekor sapi (sibuk denngan bercocok tanam), sehingga kalian meninggalkan jihad, maka Alloh akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan (Dia) tidak akan mengangkat kehinaan dari kalian, sampai kalian kembali kepada agama kalian” (HR: Silsilah As Shahihah: 11, Shahih Abu Dawud: 2956) dan juga sabdanya, yang artinya: “Akan datang pada manusia suatu masa yang mereka menghalalkan riba dengan jual beli” (Hadits Dha’if, dilemahkan oleh Al Albany dalam Ghayatul Maram: 13).

(Sumber Rujukan: Mulakhos Fiqhy Juz II Hal 11-13, dengan beberapa tambahan, Jual Beli Yang Terlarang)

Januari 24, 2008 at 12:52 am Tinggalkan komentar

Jual Beli Dalam Pandangan Islam

Jual Beli Dalam Pandangan Islam Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
Oleh: Muhammad Imaduddin*   
Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia itu semakin dewasa dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi. Pasar sebagai tempat aktivitas jual beli harus, dijadikan sebagai tempat pelatihan yang tepat bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Maka sebenarnya jual beli dalam Islam merupakan wadah untuk memproduksi khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi. Jual Beli Dalam Pandangan Islam
Oleh: Muhammad Imaduddin*

Dalam Qur’an Surat Al Baqoroh ayat 275, Allah menegaskan bahwa: “…Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”. Hal yang menarik dari ayat tersebut adalah adanya pelarangan riba yang didahului oleh penghalalan jual beli. Jual beli (trade) adalah bentuk dasar dari kegiatan ekonomi manusia. Kita mengetahui bahwa pasar tercipta oleh adanya transaksi dari jual beli. Pasar dapat timbul manakala terdapat penjual yang menawarkan barang maupun jasa untuk dijual kepada pembeli. Dari konsep sederhana tersebut lahirlah sebuah aktivitas ekonomi yang kemudian berkembang menjadi suatu sistem perekonomian.

Pertanyaannya kini adalah, seperti apakah konsep jual beli tersebut yang dibolehkan dan sesuai dengan pandangan Islam? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kita perlu melihat batasan-batasan dalam melakukan aktivitas jual beli. Al-Omar dan Abdel-Haq (1996) menjelaskan perlu adanya kejelasan dari obyek yang akan dijualbelikan. Kejelasan tersebut paling tidak harus memenuhi empat hal. Pertama, mereka menjelaskan tentang lawfulness. Artinya, barang tersebut dibolehkan oleh syariah Islam. Barang tersebut harus benar-benar halal dan jauh dari unsur-unsur yang diharamkan oleh Allah. Tidak boleh menjual barang atau jasa yang haram dan merusak. Kedua, masalah existence. Obyek dari barang tersebut harus benar-benar nyata dan bukan tipuan. Barang tersebut memang benar-benar bermanfaat dengan wujud yang tetap. Ketiga, delivery. Artinya harus ada kepastian pengiriman dan distribusi yang tepat. Ketepatan waktu menjadi hal yang penting disini. Dan terakhir, adalah precise determination. Kualitas dan nilai yang dijual itu harus sesuai dan melekat dengan barang yang akan diperjualbelikan. Tidak diperbolehkan menjual barang yang tidak sesuai dengan apa yang diinformasikan pada saat promosi dan iklan.

Dari keempat batasan obyek barang tersebut kemudian kita perlu melihat bagaimanakah  konsep kepemilikan suatu produk dalam Islam. Al-Omar dan Abdel-Haq (1996) juga menjelaskan bahwa konsep kepemilikan barang itu adalah mutlak milik Allah (QS 24:33 dan 57:7). Semua yang ada di darat, laut, udara, dan seluruh alam semesta adalah kepunyaan Allah. Manusia ditugaskan oleh Allah sebagai khalifah untuk mengelola seluruh harta milik Allah tersebut dan kepemilikan barang-barang yang menyangkut hajat hidup harus dikelola secara kolektif dengan penuh kejujuran dan keadilan.

Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia itu semakin dewasa dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi. Pasar sebagai tempat aktivitas jual beli harus, dijadikan sebagai tempat pelatihan yang tepat bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Maka sebenarnya jual beli dalam Islam merupakan wadah untuk memproduksi khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi. Abdurrahman bin Auf adalah salah satu contoh sahabat nabi yang lahir sebagai seorang mukmin yang tangguh berkat hasil pendidikan di pasar. Beliau menjadi salah satu orang kaya yang amanah dan juga memiliki kepribadian ihsan.

Lalu bagaimana menciptakan sistem jual beli yang dapat melahirkan khalifah-khalifah yang tangguh? Ada beberapa langkah yang bisa kita praktekkan sedini mungkin. Langkah tersebut antara lain dengan melatih kejujuran diri kita. Latihlah menjadi orang jujur dari hal-hal yang kecil. Rasulullah selalu mempraktekkan kejujuran, termasuk ketika melakukan aktivitas jual beli. Beliau selalu menjelaskan kualitas yang sebenarnya dari barang yang dijual dan tidak pernah memainkan takaran timbangan. Selain melatih kejujuran, kita juga harus mampu memanfaatkan peluang bisnis yang ada. Tidak menjadi orang yang latah melihat kesuksesan dari bisnis pihak lain. Kita harus mampu sabar dan tawakkal dengan disertai ikhtiar yang optimal dalam melihat peluang yang tepat dalam melakukan aktivitas bisnis. Langkah lainnya adalah dengan menciptakan distribusi yang tepat melalui zakat, infak, dan shadaqah. Aktivitas jual beli harus mampu melatih kita untuk menjadi orang yang pemurah dan senantiasa berbagi dengan sesama. Zakat, infak, dan shadaqah adalah media yang tepat untuk membangun hal tersebut.

Konsep jual beli dalam Islam diharapkan menjadi cikal bakal dari sebuah sistem pasar yang tepat dan sesuai dengan alam bisnis. Sistem pasar yang tepat akan menciptakan sistem perekonomian yang tepat pula. Maka, jika kita ingin menciptakan suatu sistem perekonomian yang tepat, kita harus membangun suatu sistem jual beli yang sesuai dengan kaidah syariah Islam yang dapat melahirkan khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi ini. Hal tersebut dapat tercipta dengan adanya kerjasama antara seluruh elemen yang ada di pasar, yang disertai dengan kerja keras, kejujuran dan mampu melihat peluang yang tepat dalam membangun bisnis yang dapat berkembang dengan pesat.

Wallahu ‘alamu bishowab.

Keterangan:
Penulis adalah Mahasiswa S2 Islamic Banking, Finance, and Management di Markfield Institute of Higher Education (MIHE), Markfield, Leicestershire, Inggris.

Referensi:
Al-Omar, Fuad. dan Abdel-Haq, Mohammed. 1996. Islamic Banking. Theory, Practise, and Challenges. Karachi: Oxford University Press.

Januari 24, 2008 at 12:46 am Tinggalkan komentar

HUKUM JUAL-BELI SECARA KREDIT

Penulis: Herlini Amran
Bu Herlini yang dimuliakan Allah, saya mempunyai usaha jual beli barang keperluan rumah tangga secara kredit, seperti kulkas, blender, dan sebagainya. Usaha ini sudah berjalan 2 tahun dan lancar-lancar saja.

Yang ingin saya tanyakan, bagaimana jual beli barang secara kredit? Dalam syariā€™at, apakah ada aturan berapa keuntungan yang seharusnya diambil untuk pembelian secara cash maupun kredit? Dan terakhir, bagaimana Islam mengatur masalah jual beli?
Felya, Jakarta

Jawab :
Bu Felya yang dirahmati Allah, Islam memang telah mengatur masalah jual beli, perdagangan, perniagaan, kontrak transaksi, begitu juga dengan kredit. Untuk istilah kredit dikenal dengan baiā€™ bi at-taqshid atau baiā€™ bi atstsaman ā€˜ajil artinya menjual barang dengan harga yang berbeda antara tunai dengan tenggang waktu. Di dalam Islam hal ini tidaklah dilarang. Seorang muslim diperbolehkan membeli/menjual secara kontan dan boleh juga membeli/menjual dengan menangguhkan pembayaran hingga batas waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. Bahkan Rasulullah saw sendiri pernah membeli makanan dari seorang yahudi secara tempo untuk nafkah keluarganya dan beliau memberikan baju besinya sebagai jaminan.

Memang tidak terdapat nash yang
mengharamkan bentuk jual beli kredit seperti ini, maka jumhur ulama memperbolehkannya. Namun ada batasan yang harus di jaga agar tidak jatuh kepada keharaman, yaitu untuk harga harus disepakati di awal transaksi, walaupun pelunasannya dapat dilakukan kemudian (karena kredit). Bila terjadi keterlambatan dalam pelunasan (pembayarannya) maka tidak boleh diterapkan sistem perhitungan bunga (bertambah harganya karena keterlambatan pembayaran). Kedua belah pihak juga telah menyepakati pembayaran harga cicilan dan tempo pembayarannya dibatasi.

Mengenai keuntungan, pada dasarnya tidak ada batasan sebab asas jual beli adalah ā€˜an taradhin (saling ridho) antara kedua belah pihak. Biasanya harga akan berjalan menurut sunnatullah sesuai hukum permintaan dan penawaran. Berapapun keuntungannya masih dibenarkan selama tidak ada unsur kezaliman, misalnya karena banyaknya permintaan dan barang yang tersedia sedikit sehingga harganya menjadi mahal. Yang tidak dibenarkan adalah terdapat ketidak wajaran seperti menimbun barang dan mempermainkan harga. Contohnya, pemilik barang tidak mau menjual barang dagangannya, pada hal masyarakat sangat membutuhkannya. Atau ia simpan dulu sehingga kemudian harga menjadi naik dan ia mendapatkan keuntungan dengan cara yang zalim (menahan/menyimpan barang).

Keuntungan seperti inilah yang tidak dibenarkan.
Jual beli memiliki aturan main di dalam Islam, bahkan Allah telah menegaskan bahwa Dia menghalalkannya dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah : 275), dilakukan dengan suka sama suka (ā€˜an taradhin ) QS. An-Nisaā€™ : 29.

Bentuk jual beli yang telah ditentukan (sebagaimana yang telah dikemukakan oleh DR. Yusuf Qordhowi dalam buku ā€˜Halal dan Haramā€™nya), antara lain :

1-Jual beli barang yang membawa kepada kemaksiatan adalah terlarang (haram), misalnya menjual babi, khamar, makanan dan minuman yang diharamkan secara umum, berhala, salib, patung dan sebagainya. Sabda Rasulullah saw dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud : Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu juga mengharamkan harganya. Artinya sesuatu yang telah diharamkan maka tidak boleh ditukar (jual beli) dengan yang lainnya.

2-Transaksi jual beli yang tersamar dan belum jelas hasilnya/barangnya atau barang tersebut tidak dapat diserahkan kepada pembelinya, seperti menjual buah-buahan yang masih di pohon, menjual burung di udara, semuanya itu di haramkan apabila ada unsur penipuan.

3-Islam memberikan kebebasan jual beli pada setiap orang , maka persaingan yang sehat juga dibenarkan. Islam melarang (mengharamkan) sifat egois yang mendorong pedagang untuk menimbun dan mengeksploitasi barang yang dibutuhkan rakyat, sehingga dirinya mendapat keuntungan berlipat ganda karena harga barang menjadi naik.

4-Jual beli yang diberantas Islam adalah membeli/menjual sesuatu yang diketahui sebagai hasil jarahan, curian atau yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan. Sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi : Barang siapa membeli barang curian sedangkan dia tahu bahwa itu hasil curian, maka sesungguhnya dia telah bersekutu dalam dosa dan aibnya.

Untuk lebih jelasnya silahkan lihat bab Muamalah dalam buku fiqih sunnah dan buku fiqih lainnya.

Kerjasama Bisnis
Saya mempunyai rencana untuk membuka usaha di rumah. Karena terbentur pada masalah modal, saya bekerjasama dengan beberapa teman. Bagaimana aturan dalam Islam sehubungan dengan kerja sama dengan orang lain dalam usaha? Dengan modal bersama seperti itu, bagaimana pembagian keuntungan dan kerugian di antara kami?
Sebenarnya saya agak trauma bekerjasama seperti ini. Dulu saya pernah buka usaha bersama teman, dan mengalami kerugian yang mengakibatkan saya dan rekan saya itu terlibat hutang yang cukup besar. Bagaimana mengatasi masalah saya ini ya Bu, soalnya teman saya itu seperti berlepas diri dari hutang-hutang yang ada. Akibatnya saya sendiri yang menanggung hutang tersebut sampai sekarang.
Ghina, Jakarta

Jawab :
Saudari Ghina yang sholihah, prinsip kerjasama dengan orang lain tidak terlepas dari nilai-nilai moral dalam bermualamalah antar manusia yang telah diatur Islam. Hubungan kerja sama tersebut tidak terlepas dari kualitas moral yang tinggi atas ketaatan pada Allah. Sehingga kerja sama dalam usaha tersebut bersifat penuh kejujuran dan Iā€™tikad baik dan ditegakkan pada landasan yang adil dan cara yang benar.
Dalam istilah fiqih bentuk kerjasama antara kedua belah pihak dengan sama-sama menanggung keuntungan dan kerugian dikenal dengan mudharabah (kongsi) atau qiradh (memberikan modal kepada orang lain). Dan porsentase keuntungan dan kerugian yang harus ditanggung haruslah sesuai dengan kesepakatan mereka.
Jadi kerja sama dalam usaha ini merupakan kerja sama antara dua orang yang berserikat (syirkah). Bila untung, mereka berbagi keuntungan sebagaimana yang telah mereka syaratkan di awal kerja sama tersebut. Bila rugi maka diambil dari keuntungan yang ada. Jika kerugian itu sampai menghabiskan keuntungan yang ada, maka kerugian itu diambil dari modal menurut besar kecilnya kerugian. Inilah aturan Islam dalam bermuamalah.

Adanya ketentuan keuntungan untuk pemilik modal, tidak lebih dan tidak kurang sekalipun keuntungan itu berganda atau kerugian berlipat, maka cara seperti ini tidaklah sesuai dengan prinsip Islam. Seperti yang Ghina alami, ketika terjadi kerugian, hanya salah satu pihak yang menanggungnya. Oleh karenanya, sebelum bekerja sama buatlah perjanjian terlebih dahulu.

Disepakati berapa besar bagi hasil yang diinginkan atas dasar ridho. Keuntungan dibagi bersama dan kerugian juga ditanggung besama. Inilah prinsip keadilan di dalam ekonomi Islam. Mudah-mudahan setelah menerapkan usaha bagi hasil seperti ini, tidak terjadi lagi kerugian sepihak, dan semoga usaha anda menjadi barokah karena Allah bersama orang yang berserikat, sebagaimana hadits riwayat Abu Daud : Sesungguhnya Allah taā€™ala berfirman : Aku bersama orang yang berkongsi (berserikat) selama seorang di antara mereka tidak berkianat kepada yang lain, dan apabila telah berkhianat yang satu terhadap yang lain, maka Aku akan keluar dari mereka.

Januari 24, 2008 at 12:31 am Tinggalkan komentar

KISAH TSA’LABAH BIN HATHIB AL-ANSHARIY

Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

“Sedikit (harta) yang engkau tunaikan (kewajiban) syukurnya labih baik dari banyak (harta) yang engkau tidak sanggup menunaikan (kewajiban syukurnya)”

SANGAT LEMAH. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan Al-Maawardiy dan Ibnu Sakan dan Ibnu Syaahin dan lain-lain sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir di Tafsir-nya (2/374 di dalam menafsirkan ayat 75 & 75 surat At-Taubah) dan Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Al-Ishaabah fi Tamyiz Ash-Shahabah (juz 1 hal.198) dan Ibnu Abdil Barr di kitabnya Al-Isti’aab (juz 1 hal. 200-201), dari jalan Mu’aan bin Rifa’ah, dari Ali bin Yazid, dari Qashim bin Abdurrahman, dari Abu Umamah (ia berkata) : Bahwa Tsa’labah bin Haathib Al-Anshariy pernah berkata : Ya Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar Ia memberikan rizki kepadaku berupa harta (yang banyak).

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sedikit (harta) yang engkau tunaikan (kewajiban) syukurnya lebih baik dari banyak (harta) yang engkau tidak sanggup menunaikan (kewajiban syukurnya)”

Kemudian ia menyebutkan hadits yang panjang tentang do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Tsa’labah agar memperoleh harta yang banyak. Yang pada akhirnya Tsa’labah tidak mau mengelurkan zakat. Kemudian turunlah firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 76. Dan di dalam hadits itu diterangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mati tidak mau menerima zakatnya Tsa’labah. Demikian juga Abu Bakar dan Umar dan dia mati pada zaman pemerintahan Utsman.

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Al-Ishaabah fi Tamyiz Ash-Shahaabah (juz 1 hal. 198) setelah meriwayatkan hadits diatas, “Jika sah hadits di atas, dan saya mengira bahwa hadits di atas tidak sah”.

Saya berkata ; Sanad hadits ini sangat dla’if, di dalamnya terdapat dua ‘illat (penyakit).

[1]. Mu’aan bin Rifa’ah As-Salaamiy, seorang rawi yang lemah/dla’if di dalam periwayatan hadits. Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib-nya, “Layyinul hadits katsirul irsaal (orang yang lemah haditsnya dan sering memursalkan hadits)”.

[2]. Ali bin Yazid bin Abi Ziyad Al-Alhaaniy Abu Abdul Malik Ad-Dimasyqiy. Berkata Al-Hafidz di Taqrib-nya, “Dla’if” Berkata Bukhari, “Munkarul hadits”. Berkata An-Nasa’i, “Laisa bi tsiqatin (bukan orang yang tsiqah)”. Berkata Daruquthni, “Matruk”. Dn lain-lain [Mizanul I’tidal Juz 3 hal.161]

Saya berkata : Ditinjau dari jurusan matannya (isinya) hadits ini pun batil dari beberapa jurusan.

Pertama : Tsa’labah bin Haathib Al-Anshariy seorang Shahabat yang ikut di dalam perang Badar. Sedangkan orang yang ikut perang Badar telah ditegaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan masuk neraka sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Al-Ishaabah fi Tamyiz Ash-Shahabah Juz 1 hal. 198 dengan menurunkan sebuah hadits shahih.

Kedua : Tidak dijumpai dari seorangpun Shahabat yang tamak terhadap dunia, kikir dan tidak mau mengeluarkan zakat sebagaimana riwayat di atas apalagi dari seorang Shahabat yang pernah ikut di dalam perang Badar.

Ketiga : Hadits dla’if di atas jelas-jelas telah menyalahi sirah (perjalanan) para Shahabat yang mulia yang telah mendapat keridlaan Rabbul Alamin

Keempat : Sebaliknya, mereka berlomba-lomba menginfakan harta-harta mereka fi sabilillah.

Kelima : Kebatilan dan kejanggalan hadits diatas akan bertambah jelas apabila kita melihat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘tidak mau’ menerima taubatnya. Padahal Allah Azza wa Jalla Maha Pengampun dan Maha Menerima Taubat sebagaimana firman-Nya di banyak ayat di dalam Al-Qur’an. Demikian juga sabda-sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallm yang suci yang menjelaskan bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Menerima Taubat hamba-hamba-Nya yang berdosa hatta si kafir dan si musyrik dan munafiq. Mimbaabil aula (lebih utama lagi) dari seorang muslim yang berdosa hatta dosa yang paling besar yaitu syirik kalau dia bertaubat sebelum matinya, niscaya dia dapati bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Menerima Taubat.

KISAH SAKARATUL MAUTNYA ALQAMAH

Dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata: Kami pernah berada di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu datanglah seseorang, ia berkata, “Ada seorang pemuda yang nafasnya hampir putus, lalu dikatakan kepadanya, ucapkanlah Laa ilaaha illallah,akan tetapi ia tidak sanggup mengucapkannya.” Beliau bertanya kepada orang itu,” Apakah anak muda itu shalat?” Jawab orang itu,”Ya.” Lalu Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bangkit berdiri dan kami pun berdiri besama beliau, kemudian beliau masuk menemui anak muda itu, beliau bersabda kepadanya,”Ucapkan Laa ilaaha illallah.” Anak muda itu menjawab, “Saya tidak sanggup.” Beliau bertanya, “Kenapa?” Dijawab oleh orang lain, “Dia telah durhaka kepada ibunya.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah ibunya masih hidup?” Mereka menjawab, “Ya”. Beliau bersabda, “Panggillah ibunya kemari,” Lalu datanglah ibunya, maka belaiu bersabda, “Ini anakmu?” Jawabnya, “Ya.” Beliau bersabda lagi kepadanya, “Bagaimana pandanganmu kalau sekiranya dibuat api unggun yang besar lalu dikatakan kepadamu: Jika engkau memberikan syafa’atmu (pertolonganmu -yakni maafmu-) kepadanya niscaya akan kami lepaskan dia, dan jika tidak pasti kami akan membakarnya dengan api, apakah engkau akan memberikan syafa’at kepadanya?” Perempuan itu menjawab, “Kalau begitu, aku akan memberikan syafa’at kepadanya.” Beliau bersabda,” Maka Jadikanlah Allah sebagai saksinya dan jadikanlah aku sebagai saksinya sesungguhnya engkau telah meridlai anakmu.” Perempuan itu berkata, “Ya Allah sesungguhnya aku menjadikan Engkau sebagai saksi dan aku menjadikan Rasul-Mu sebagai saksi sesungguhnya aku telah meridlai anakku”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anak muda itu, “Wahai anak muda ucapkanlah Laa ilaaha illallah wahdahu laa syarikalahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu,” Lalu anak muda itupun dapat mengucapkannya. Maka bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dengan sebab aku dari api neraka.”

SANGAT LEMAH. Telah diriwayatkan oleh Thabrani di kitabnya Al Mu’jam Kabir dan Imam Ahmad meriwayatkan dengan ringkas. Demikian keterangan Al Imam Mundzir di kitabnya At Targhib wat Tarhib juz 3 hal. 331

Saya berkata : Imam Ahmad telah meriwayatkan di Musnad-nya juz 4 hal. 382 dari jalan Faa-id bin Abdurrahman dari Abdullah bin Aufa dengan ringkas.

Al Imam Ibnul Jauzi telah meriwayatkan hadist di atas di kitabnya Al-Maudlu’aat juz 3 hal.87 dari jalan Faa-id seperti diatas.

Berkata Abdullah bin Ahmad (anaknya Imam Ahmad yang meriwayatkan kitab Musnad bapaknya) setelah meriwayatkan hadist di atas yang ia dapati di kitab bapaknya bahwa bapaknya tidak ridla terhadap hadistnya Faa-id bin Abdurrahman atau menurut beliau bahwa Faa-id bin Abdurrahman itu Matrukul hadist.

Berkata Al Imam Ibnul Jauzi setelah meriwayatkan hadist di atas, “Hadist ini tidak sah datangnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan di dalam sanadnya terdapat Faa- id, telah berkata Ahmad bin Hambal : Faa-id matrukul hadist. Dan telah berkata Yahya (bin Ma’in): Tidak ada apa-apanya. Berkata Ibnu Hibban: Tidak boleh berhujjah dengannya. Berkata Al ‘Uqailiy: Tidak ada mutabi’nya (pembantunya) di dalam hadist ini dari rawi yang seperti dia.”

Saya berkata : Tentang Faa-id bin Abdurrahman seorang rawi yang sangat lemah telah lalu sejumlah keterangan dari para Imam ahlul hadist di hadist kedua (no.2) dari kitab hadist- hadist dla’if dan maudlu. Silahkan meruju’ bagi siapa yang mau. Hadist Alqamah batil bila ditinjau dari matannya. Karena tidak ada seorang pun Shahabat yang datang dari hadist-hadist yang sah yang durhaka kepada orangtuanya istimewa kepada ibunya. Bahkan ada sebaliknya, bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat berbuat kebaikan (birrul walidain) kepada orang tua mereka apalagi kepada ibu mereka.

[Disalin dari buku Kisah Tsa’labah dan Al-Qamah. Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penyunting Tim Darul Qolam, Penerbit Darul Qalam –Jakarta, Cetakan I – Th. 1422H/2002M]

Januari 23, 2008 at 1:30 pm Tinggalkan komentar

HUKUM SANDIWARA ISLAMI DAN NASYID ISLAMI

Oleh
Syaikh DR Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

Pertanyaan.
Syaikh DR Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya : Apa hukum sandiwara Islami, dan nasyid-nasyid yang dinamakn nasyid Islami, yang hal ini dilakukan oleh sebagian pemuda di pusat-pusat hiburan selama musim panas ?

Jawaban
Sandiwara [1], saya katakan tidak boleh karena.

Pertama: Di dalamnya melalaikan orang yang hadir [2] sebab mereka memperhatikan gerakan-gerakan pemain sandiwara dan mereka senang (tertawa) [3]. Sandiwara itu biasanya dimaksudkan untuk hiburan, sehingga melalaikan orang yang menyaksikan. Ini dari satu sisi.

Kedua: Individu-individu yang ditiru, kadang-kadang berasal dari tokoh Islam, seperti sahabat. Hal ini dianggap sebagai sikap meremehkan mereka[4] , baik si pemain merasa atau tidak. Contoh: anak kecil atau seseorang yang sangat tidak pantas, menirukan ulama atau sahabat. Ini tidak boleh. Kalau ada seseorang datang menirukan kamu, berjalan seperti jalanmu, apakah engkau ridha dengan hal ini? Bukankah sikap ini digolongkan sebagai sikap merendahkan terhadap kamu? Walaupun orang yang meniru tersebut bermaksud baik menurut sangkaannya. Tetapi setiap individu tidak akan rela terhadap seseorang yang merendahkan dirinya.

Ketiga: Yang ini sangat berbahaya, sebagian mereka menirukan pribadi kafir seperti Abu Jahal atau Fir’aun dan selain mereka. Dia berbicara dengan pembicaraan yang kufur yang menurut dugaannya dia hendak membantah kekufurannya, atau ingin menjelaskan bagaimana keadaan jahiliyah. Ini adalah tasyabuh (meniru). Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam melarang tasyabuh dengan orang-orang musyrik dan kufur [5] baik meniru (menyerupai) kepribadian maupun perkataannya. Dakwah dengan cara ini dilarang karena tidak ada petunjuk Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam serta bukan dari salafu ash shalih maupun petunjuk kaum muslimin. Model-model sandiwara ini tidak dikenal kecuali dari luar Islam. Masuk kepada kita dengan nama dakwah Islam, dan dianggap sebagai sarana-sarana dakwah. Ini tidak benar karena sarana dakwah adalah tauqifiyah (ittiba’). Cukup dengan yang dibawa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dan tidak butuh jalan seperti ini.[6]. Bahwasanya dakwah akan tetap menang dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Tanpa adanya model-model sandiwara ini. Tatkala cara ini (sandiwara) datang tidaklah menampakkan kebaikan kepada manusia sedikitpun, dan tidak bisa mempengaruhinya. Hal itu menunjukkan bahwa cara ini (sandiwara) adalah perkara negatif dan tidak ada faedahnya sedikitpun. Bahkan di dalamnya terdapat hal-hal yang membahayakan.

Lalu jika ada orang yang berkata,’Sesungguhnya Malaikat itu menyerupai bentuk anak Adam.

Kami jawab, ‘Malaikat-malaikat itu datang dalam bentuk anak Adam, karena manusia tidak mampu melihat dalam bentuknya yang asli. Ini merupakan kebaikan bagi manusia. Sebab jika malaikat datang dengan bentuk mereka yang sebenarnya, maka manusia tidak akan mampu berbicara dengan mereka dan tidak bisa melihat kepada mereka.[7] Para malaikat tatkala menyerupai bentuk manusia tidak bermaksud bermain sandiwara sebagaimana yang mereka inginkan. Malaikat itu menyerupai manusia dalam rangka memperbaiki. Karena malaikat mempunyai bentuk sendiri yang berbeda dari manusia. Adapun manusia maka bagaimana bentuk seseorang itu berubah kepada bentuk manusia yang lain. Apa yang mendorong kepada perubahan ini?

[Disalin dari kitab Al-Ajwibatu Al-Mufidah An-As’illah Al-Manahij Al-Jadidah, Edisi Indonesia Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, Pengumpul Risalah Abu Abdillah Jamal bin Farihah Al-Haritsi, Penerbit Yayasan Al-Madinah, Penerjemah Muhaimin]
__________
Foote Note
[1]. Syaikh Bakar Abu Zaid berkata dalam kitabnya At-Tamtsil,’Keberadaan sandiwara awalnya adalah bentuk peribadahan non-Islam. Sebagian ahlu ilmi menguatkan, bahwa inti sandiwara itu adalah bagian dari syiar-syiar peribadahan penyembah berhala di Yunani.(Hal 18).

Syaikh Al-Islam berkata dalam kitabnya Iqtidha Sirath Al-Mustaqim (191/ cet. Darul Hadits) tentang apa yang dikerjakan kaum Nashara pada hari raya mereka yang disebut ’Hari rayanya orang-orang yang berkepala udang” (id asy-Sya’anin): ”Mereka keluar pada hari raya dengan membawa daun zaitun dan sejenisnya, dan mereka menyangka sikapdemikian itu menyerupai apa yang ada pada Al-Masih ’Alaiahis Sallam. Hal ini telah dinukil oleh Syaikh Bakar Abu Zaid dalam At-Tamtsil. Syaikh Bakar mengisyaratkan tentang hal itu dalam kitabnya hal. 27-28 : ”Engkau telah mengetahui bahwa sandiwara itu tak ada hubungannya dengan sejarah kaum muslimin pada generasi yang pertama(utama). Kedatangannya tak disangka-sangka pada masa sedikitnya orang yang berilmu, yakni pada abad 14H. Kemudian disambut dengan mendirikan rumah-rumah hiburan dan gedung-gedung sandiwara, serta merta berpindahlah dari tempat-tempat peribadahan kaum Nashara kepada sekelompok pelaku sandiwara Islami di sekolah-sekolah daripada sebagian jamaah Islam.

[Saya (Abu Abdillah) berkata : Contohnya Ikhwanul Muslimin”]

Apabila engkau memaklumi hal ini, maka ketahuilah bahwa kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip Islam yang mengangkat ahlinya kepada derajat mulia dan sempurna tentu menuntut penolakan dengan cara itu. Sebagaimana diketahui, bahwa suatu amal mungkin termasuk sebagai ibadah, atau bisa jadi termasuk sebagai adat. Maka asal ibadah, tidaklah disyariatkan kecuali apa yang disyariatkan oleh Allah dan asal adat adalah tidak dilarang kecuali apa yang telah Allah larang. Oleh karena itu sandiwara Islami itu tidak boleh diadakan sebagai jalan ibadah, atau pun sebagai bagian dari kebiasaan atau adat yang mengandung unsur permainan dan hiburan.

Sandiwara Islami tidak ditetapkan dalam syariat, dia jalan yang baru. Sebagian dari keseluruhan ajaran Islam adalah apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam ,’Barangsiapa yang membikin perkara-perkara baru dalam urusan kami(Islam), yang perkara itu buka dari Islam maka tertolak’. Karena itu, apa yang telah dilihat pada beberapa sekolahan atau kampus-kampus, yakni adanya permainan sandiwara Islami maka sesungguhnya itu adalah sandiwara bid’ah, karena telah diketahui asalnya. amalan tersebut bagi kaum muslimin adalah perkara yang keluar dari daerah yang ditentukan berdasarkan dalil syar’i.

Karena amalan tersebut merupakan peribadahan penyembah berhala dari Yunani dan ahlu bid’ah Nashara, maka tak ada dasarnya dalam Islam secara mutlak. Jadi amalan itu adalah perkara baru dalam Islam dan setiap perkara baru dalam Islam adalah bid’ah yang menyerupai syariah. Nama yang pas untuk istilah itu berdasar syariat Islam adalah ‘Sandiwara Bid’ah’.

Apabila sandiwara ini dimasukkan sebagai adat, maka hal itu menyerupai musuh-musuh Allah (kafir). Sedangkan kita telah dilarang menyerupai mereka. Sementara perkara itu tidak dikenal kecuali dari mereka.

Saya (Abu Abdillah) berkata, ”Sesungguhnya ; ’Sandiwara Islami’, sebagaimana yang mereka namakan –hanya terdapat di pusat hiburan selama musim panas dan sekolah-skolah, dianggap sebagai salah satu metode dakwan dan cara mempengaruhi para pemuda. Ini merupakan akal-akalan mereka, yang secara syara tertolak. Padahal cara dan metode dakwah kepada Allah tauqifiyah (ittiba), maka tidak ada hak bagi seseorang untuk membikin sesuatu (untuk peribadahan) dari dirinya. Saya tidak akan membicarakan masalah sarana dakwah secara panjang lebar.

Jika ada orang yang berkata,’Sesungguhnya sarana-sarana berdakwah merupakan bagian dari mashalihul Mursalah’. Kami jawab,’Apakah syariah meremehkan segala kebaikan bagi hamba-hambanya?

Jawabannya terdapat dalam keterangan Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, sebagai berikut, ‘Secara singkat bahwa syariah tidak meremehkan kebaikan (maslahah) sama sekali, bahkan Allah Ta’ala telah menyempurnakan dien nikmatNya bagi kita. Jadi tidak ada yang mendekatkan diri ke surga kecuali kita telah diperintahkan beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam untuk mengerjakannya. Beliau telah meninggalkan kita di atas lembaran yang putih bersih. Malamnya seprti siangnya, tidak menyimpang daripadanya melainkan orang yang binasa.[Dinukil dari kitab : Hujaju Al-Qawiyyah Ala Anna Wasa’ila ad-Da’wah Tauqifiyah karya Syaikh Abdussallam bin Barjas hal. 40]

Saya (Abu Abdillah) berkata, ‘Apabila sejumlah besar dari berbagai kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan bertaubat kepada al-haq dengan jalan yang syar’i dan memang harus demikian. Maka mengapa seorang da’i mencari jalan yang tidak terdapat di dalam syara’ ? Lagipula bahwa sesungguhnya apa yang terdapat dalam syara’ sungguh telah mencukupi untuk memperoleh tujuan dakwah kepada Allah. Yakni menjadikan ahlu maksiat bertaubat dan orang-orang yang tersesat mendapat petunjuk. Hendaklah para da’i melapangkan dirinya tatkala berdakwah kepada Allah dengan sarana yang para sahabat melapangkan diri mereka di atasnya. Sesungguhnya mereka kembali menuju kepada ilmu. Ibnu Mas’ud berkata,’Sesungguhnya kalian akan menciptakan perkara yang baru dan akan diciptakan perkara baru untuk kalian, Maka, apabila kalian melihat perkara yang baru, wajib atas kalian berpegang dengan perkara yang pertama (Rasulullah dan para sahabat)’. Ibnu Mas’ud berkata pula,’Hati-hati kalian terhadap bid’ah, hati-hati kalian terhadap berlebih-lebihan, hati-hati kalian terhadap berdalam-dalaman dan wajib kalian berpegang teguh dengan generasi yang dahulu’.[ Dinukil dari kitab : Hujaju Al-Qawiyyah Ala Anna Wasa’ila ad-Da’wah Tauqifiyah karya Syaikh Abdussallam bin Barjas hal. 43]

Syaikh Abdussalam berkata,’Sesungguhnya menentukan kebaikan dalam suatu perkara adalah sulit sekali. Kadang-kadang seorang pengamat menyengka bahwa ini adalah maslahah, padahal ini, sesungguhnya yang berkuasa menentukan kemaslahatan adalah ahlu ilmi. Merekalah yang dipenuhi keadilan dan bashirah, yang senantiasa mewujudkan hukum-hukum syariah serta kebaikan-kebaikan. Oleh karena itu suatu masalah butuh sikap hati-hati yang besar dan sangat waspada dari penguasaan hawa nafsu jika menghendaki sesuatu yang baik. Hawa nafsu sering menghiasi sesuatu yang rusak menjadi tampak baik, sehingga banyak orang tertipu. Padahal bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Lalu bagaimana para muqallid(orang yang taklid) itu bisa dikuasai dengan persangkaan kemudian menentukan bahwa ini adalah maslahah ? Bukankah ini merupakan sikap lancang terhadap dien dan sikap nakal terhadap hukum syar’i dengan tanpa keyakinan ? (hal 45)

Dia Abdussalam menukil juga dari Syaikh Hamud bin Abdullah At-Tuwajiri rahimaullah, katanya : Sesungguhnya memasukkan sandiwara dalam berdakwah kepada Allah Ta’ala bukanlah dari sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan dari sunnah Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyin. Melainkan termasuk perkara baru pada zaman kita. Dan sungguh Rasulullah telah memperingatkan dari perkara-perkara yang baru, memerintahkan untuk menolaknya, serta mengabarkannya bahwa perkara baru itu adalah buruk dan sesat” (hal. 45)

[2]. Di dalamnya mengandung unsur menyia-nyiakan waktu. Orang Islam akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap waktunya. Dia dituntut untuk memelihara dan mengambil faedah dari waktunya, untuk mengamalkan apa-apa yang diridhai oleh Allah Ta’ala, sehingga manfaatnya kembali kepadanya baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana hadits Abu Barzah Al-Aslamy, dia berkata,’Telah bersabda Rasulullah,

”Artinya : Tidak bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ditanya tentang umurnya, untuk apa dia habiskan. tentang hartanya darimana dia dapatkan, dan untuk apa dia infakkan. tentang badannya untuk apa dia kerahkan. [Dikeluarkan oleh Imam At-Tirmidzi 2417 dan dia menshahihkannya]

[3]. Umumnya sandiwara itu dusta. Bisa jadi memberi pengaruh bagi orang yang hadir dan menyaksikan atau memikat perhatian mereka atau bahkan membuat mereka tertawa. Itu bagian dari cerita-cerita khayalan. Sungguh telah ada ancaman dari Rasulullah bagi orang yang berdusta untuk menertawakan manusia dengan ancaman yang keras. Yakni dari Muawiyah bin Haidah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah bersabda,

“Artinya : Celaka bagi orang-orang yang berbicara (mengabarkan) sedangkan dia dusta (dalam pembicaraannya) supaya suatu kaum tertawa maka celakalah bagi dia, celakalah bagi dia”.[Hadits Hasan, dikeluarkan oleh Hakim (I/46), Ahmad (V/3-5) dan At-Tirmidzi (2315)]

Mengiringi hadits ini Syaikh Islam berkata,’Dan sungguh Ibnu Mas’ud berkata : “Sesungguhnya dusta itu tidak benar baik sungguh-sungguh maupun bercanda”
Adapun apabila dusta itu menimbulkan permusuhan atas kaum muslimin dan membahayakan atas dien tentu lebih keras lagi larangannya. Bagaimanapun pelakunya yang menertawakan suatu kaum dengan kedustaan berhak mendapat hukuman secara syar’i yang bisa menghalangi dari perbuatannya itu.[Majmu Fatawa (32/256)]

Tentang cerita-cerita, sungguh ulama’ salaf membenci cerita-cerita dan majelis-majelis cerita. Mereka memperingatkan segala peringatan dan memerangi para narator (pencerita) dengan berbagai sarana. Dari kitab Al-Mudzakir wa At-Tadzkin wa Adz-Dzikr karya Ibnu Abi Ashim, tahqiq Khlaid Al-Ridadi (hal. 26) . Ibnu Ashim telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih, bahwa Ali Radhiyallahu ;anhu melihat seseorang bercerita, maka dia berkata, Apakah engkau tahu tentang naskh (ayat yang menghapus) dan mansukh(yang dihapus)? Maka dia (pencerita itu) menjawab,Tidak. Ali berkata,Binasa engkau dan engkau telah membinasakan mereka.[ Al-Mudzakir wa At-Tadzkir hal. 82]

Imam Malik berkata, Sungguh saya benci cerita-cerita di masjid. Saya memandang berbahaya ikut bermajelis dengan mereka. Sesungguhnya cerita-cerita itu bid’ah.

Dari Salim berkata, “Bahwa Ibnu Umar bertemu dengan orang yang keluar dari masjid, maka dia berkata , ‘Tidak ada factor yang menyebabkan aku keluar (dari masjid) kecuali suara narrator kalian ini”. Imam Ahmad berkata,Manusia yang paling dusta adalah para narator dan orang yang paling banyak bertanya (dengan pertanyaan yang tidak ada faedahnya). Kemudian ditanyakan padanya (Imam Ahmad),Apakah Anda menghadiri majelis mereka ? Dia menjawab, Tidak.[Dinukil dari kitab Al-Bida wa Al-Hawadits karya At-Turtusyi, hal 109-112]

[4]. Salah satu nama sandiwara yaitu : Al-Muhakkah, yakni menirukan seseorang dalam gerakan-gerakannya. Telah datang hadits shahih yang mencela orang yang menirukan gerakan seseorang, dan larangan dari yang demikian itu, dari Aisyah bahwa Rasulullah bersabda, ‘Sungguh saya tidak suka menirukan seseorang dan sungguh bagi saya seperti ini dan seperti ini’. Shahih dikeluarkan oleh Imam Ahmad (6/136-206), At-Tirmidzi(2503).

[5] Hadits yang melarang menyerupai orang-orang musyrik dan kafir telah tersebar, diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Selisihilah orang-orang Yahudi dan Nashara..'[Taqrib Ibnu Hibban (2186)], ‘Berbedalah dengan orang-orang musyrik…’ [Muslim(259)], ‘Berbedalah dengan orang-orang Majusi..’ [Muslim(260)]

[6]. Telah terbit sebuah kitab dengan judul Al-Hujaj Al-Qawiyyah ‘Ala Anna Wasa’ilah Da’wah Taufiqiyyah karya Syaikh Abdussallam bin Barjas bin Abdulkarim. Sebuah kitab yang bagus pembahasannya, kami nasehatkan supaya membaca kitab tersebt.

[7]. Kemudian sungguh malaikat itu tidak menirukan perkataan seseorang yang diserupai bentuknya, dan tidak berjalan seperti jalannya atau gerakan-gerakan lain yang dilakukan orang yang diseruapinya.

Januari 23, 2008 at 1:27 pm Tinggalkan komentar

pengertian Islam (singkat)

Pengertian Islam

Pengertian Islam dari segi bahasa

Perkataan Islam berasal dari bahasa Arab (أَسْلَمَ يُسِلِمُ إِسْلاَمًا : aslama, yuslimu, islaman)

Aslama bermaksud serah diri dan tunduk taat[1], [2], [3], [4], [5], [6].

Pengertian Islam dari segi istilah (terminologi)

Islam adalah cara hidup.Cara bagaimana manusia perlu mengatur hidup mereka di atas dunia.Ia adalah agama wahyu yang diperturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW

melalui malaikat Jibril as.

Rukun Islam

Para ulamak menetapkan setiap umat Islam mestilah mematuhi 5 perkara asas dalam Islam yang dikenali ramai sebagai Rukun Islam yang terdiri daripada lima perkara:-

  1. Mengucap kalimah syahadah dan menerima bahawa Allah itu tunggal dan nabi Muhammad s.a.w. itu rasul Allah.
  2. Menunaikan solat lima kali sehari.
  3. Berpuasa pada bulan Ramadan.
  4. Mengeluarkan zakat.
  5. Mengerjakan Haji bagi mereka yang mampu.

Amalan seseorang Islam

  1. Mengucap Bismillah, pada tiap-tiap hendak melakukan sesuatu.
  2. Mengucap Alhamdulillah, pada tiap-tiap selesai melakukan sesuatu.
  3. Mengucap Astagfirullah, jika lidah terselit perkataan yang tidak patut diungkapkan.
  4. Mengucap Insya Allah, jika merencanakan berbuat sesuatu di hari esok.
  5. Mengucap La haula wala kuwwata illa billah ,jika menghadapi sesuatu tak disukai dan tak diingini.
  6. Mengucap Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, jika menghadapi dan menerima musibah.
  7. Mengucap La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah, sepanjang siang & malam sehingga tak terpisah dari lidahnya,mudah-mudahan ingat, walau lambat-lambat, mudah-mudahan selalu, walau sambil lalu mudah-mudahan jadi kebiasaan.

Januari 22, 2008 at 2:33 am Tinggalkan komentar

sejarah Nabi Muhammad Saw

http://media.isnet.org/v01/islam/Haekal/Muhammad/toc.html

Januari 22, 2008 at 2:21 am Tinggalkan komentar

Pembatal-pembatal Keimanan

Apa saja yang dapat membuat keimanan kita batal ? …

  • Mengadakan persekutuan dalam beribadah kepada Allah. “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa orang yang menyekutukan-Nya dan mengampuni selain dosa syirik bagi siapa yang dikehendaki…” (An Nisa : 116)
  • Menjadikan sesuatu atau seseorang sebagai perantara doa, permohonan syafaat, serta sikap tawakkal mereka kepada Allah.
  • Menolak untuk mengkafirkan orang-orang musyrik, atau menyangsikan kekafiran mereka, bahkan membenarkan madzab mereka.
  • Berkeyakinan bahwa petunjuk selain yang datang dari Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi wa Sallam lebih sempurna dan lebih baik. Menganggap suatu hukum atau undang-undang lainya lebih baik dibandingkan syariat Rasulullah, serta lebih mengutamakan hukum thaghut dibandingkan ketetapan Rasulullah.
  • Membenci sesuatu yang datangnya dari Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi wa Sallam, meskipun diamalkannya. “Demikian itu karena sesungguhnya mereka benci terhadap apa yang diturunkan Allah, maka Allah menghapuskan (pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad : 9)
  • Mengolok-olok sebagian dari Din yang dibawa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi wa Sallam, misalnya tentang pahala atau balasan yang akan diterima. “….Katakanlah, apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman…” (At Taubah 65-66)
  • Masalah sihir. Diantara bentuk sihir adalah “ash shorf” (pengalihan), yaitu mengubah perasaan seseorang laki-laki menjadi benci kepada isterinya. Sedangkan “al ‘athaf” adalah sebaliknya, mejadikan orang senang terhadap apa yang sebelumnya dia benci dengan bantuan syaitan.
  • Mengutamakan orang kafir serta memberikan pertolongan dan bantuan kepada orang musyrik lebih daripada pertolongan dan bantuan yang diberikan kepada kaum muslimin.
  • Beranggapan bahwa manusia bisa leluasa keluar dari syariat Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi wa Sallam. “Barangsiapa yang mencari agama selain Dinul Islam, maka dia tidak diterima amal perbuatannya, sedang dia di akhirat nanti termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
  • Berpaling dari Dinullah, baik karena dia tidak mau mempelajarinya atau karena tidak mau mengamalkannya. “Dan siapakah yang lebih dzalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungughnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As Sajadah: 22)

Sumber : Aqidah Shohihah Versus Aqidah Bathilah, karya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah

Januari 22, 2008 at 1:59 am Tinggalkan komentar

POLIGAMI DALAM ISLAM

Pendahuluan

Islam adalah agama universal yang
mengatur segenap tatanan kehidupan manusia. Sistem dan konsep yang dibawa Islam
sesungguhnya padat nilai dan memberikan manfaat yang luar biasa kepada umat
manusia. Konsepnya tidak hanya berguna pada masyarakat muslim, tapi dapat
dinikmati siapapun. Sistem Islam ini tidak mengenal batas ruang dan waktu,
tetapi selalu laik diterapkan kapan dan di mana saja tanpa menghilangkan
faktor-faktor kekhususan suatu masayarakat. Semakin utuh konsep itu
diaplikasikan, semakin besar manfaat yang diraih.

Di sisi lain,
syariat Islam banyak dipahami orang secara keliru. Penyebab utama adalah faktor
“keawaman” terhadap hukum Allah ini. Juga tak bisa dipungkiri keterlibatan
Barat dalam memperburuk asumsi itu.


face=”Times New Roman” size=”2″>Allah SWT yang menciptakan manusia, tidak
mungkin menetapkan yang tidak relevan dengan kehidupan manusia. Allah Maha
Mngetahui segala sesuatu, termasuk sikap, sifat dan kecenderungan manusia
dengan segala tabiatnya, baik dia jenis laki-laki maupun wanita, baik secara
individu maupun sosial.


face=”Times New Roman” size=”2″>Di antara beberapa hukum yang mendapat
perhatian Allah SWT dalam kaitannya dengan manusia adalah hukum poligami
(ta’addud zaujat).

Poligami merupakan persoalan kemanusiaan dan masyarakat
yang selalu menjadi bahan perbincangan di setiap tempat dan waktu. Bukan karena
Islam telah menurunkan syariat tentang itu, tapi jauh sebelumnya persoalan
poligami sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia di setiap
zaman.


Pada zaman kini pun banyak kita temukan pendapat pro dan kontra di
sekitar persoalan ini. Sebagian masyarakat dewasa ini banyak melihat dengan
sebelah mata terhadap lelaki yang mempunyai lebih dari satu isteri. Bahkan
orang yang berpoligami terkadang menjadi buah bibir dan cemoohan di masyarakat.
Banyak tuduhan negatif yang dilemparkan kepada mereka yang berpoligami. Hal ini
disebabkan suatu kenyataan bahwa kebanyakan dari mereka sering menimbulkan
masalah dalam keluarganya. Di sisi lain ada orang yang berpandangan bahwa
poligami adalah sunnah Rasulullah SAW sehingga mendorongnya untuk melakukan
ibadat sunnah sebanyak-banyaknya, termasuk berpoligami. Bahkan ada sebagian
orang berpendapat bahwa poligami adalah suatu kewajiban sesuai dengan ayat yang
tersebut dalam Al-Qur’an, dengan alasan bahwa kalimat (amr) perintah dalam
Al-Qur’an tersebut mengandung hukukm wajib.

Lalu bagaimana
sebenarnya Islam menyikapi persoalan ini?. Tulisan ini mencoba mengetengahkan
persoalan di atas menurut pandangan Islam. Harapan penulis semoga tulisan yang
sederhana ini menambah wawasan pengetahuan kita tentang ajaran Islam universal,
meskipun penulis sadar bahwa hal ini belum sepenuhnya mendudukkan persoalan
pada proporsinya yang sesuai dengan Islam.

Poligami
Dalam Tinjauan Historis


Persoalan poligami bukan hanya eksis pada
masa Islam, ia telah ada sejak sebelum datangnya Islam dan telah dipraktekkan
oleh bangsa-bangsa terdahulu., seperti bangsa Yunani, Cina, India, Babilonia,
Mesir dan bangsa lain yang mempunyai peradaban tinggi dalam sejarah dunia.
Bahkan bangsa Cina pernah mempunyai undang-undang yang membolehkan laki-laki
berpoligami dengan 130 wanita. Sejarah Cina juga pernah mencatat bahwa salah
seorang bangsawannya pernah memiliki isteri sebanyak 30.000
isteri.


Bangsa Yahudi pun tidak berbeda dengan bangsa lainnya. Ia
membolehkan pengikutnya berpolgami. Bahkan para nabi Bani Israil, tanpa
terkecuali, mempunyai banyak isteri. Dalam sejarah tercatat bahwa Nabi Sulaiman
memiliki 700 isteri dari orang merdeka dan 300 wanita dari kalangan hamba
sahaya.


Dalam Bibel, meskipun tidak ada ayat-ayat yang menyentuh poligami,
tapi tidak ada satu ayat pun yang melarang poligami. Di sana Cuma ada nasehat
bahwa Tuhan telah menjadikan bagi laki-laki seorang isteri. Secara tersirat,
ayat ini mengandung pengertaian bahwa boleh berpoligami dalam situasi tertentu,
sebab tidak ada yang menyebutkan bahwa bila seseorang kawin dengan isteri kedua
disebut sebagai penzina. Meskipun dalam Bibel tidak disebutkan secara sarih,
tapi surat Paulus menyebutkan bolehnya berpoligami. Surat Paulus itu berbunyi:
“Seorang uskup hanya boleh memiliki satu isteri”. Bunyi surat ini
mengandung arti boleh berpoligami bagi selain uskup.

Waster Mark,
pakar sejarah perkawinan pernah menulis: “Poligami telah diakui gereja hingga
abad ke 17”. Ia juga menyebutkan bahwa raja Irlandia, Masdt memiliki dua
isteri.


Marthin Luther pun sering berbicara tentang poligami dan tak seorang
pun mengingkarinya.

Pada tahun 1949 penduduk Bonn pernah mengajukan tuntutan
kepada pemerintahnya agar memasukkan hukum dibolehkannya poligami dalam
undang-undang Jerman.

Memang para pakar telah banyak memuji hukum poligami, di
antaranya Grotius, seorang ahli hukum terkenal. Ia membenarkan telah terjadi
poligami pada para pendeta dan nabi bangsa Ibrani yang tersebut dalam
Perjanjian Lama.

Dalam sejarah pun pernah disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW
pernah memerintahkan seorang yang telah masuk Islam untuk mencerai
isteri-isterinya yang berjumlah lebih dari empat dan untuk cukup dengan empat
isteri saja. Ini menunjukkan bahwa pada zaman Jahiliyyah telah terjadi
poligami.

Poligami dan Islam

align=”justify”> Dalam Islam
masalah poligami sudah tidak asing lagi. Dan justrtu ramainya perbincangan
tentang poligami lebih dikarenakan ia ada dalam hukum Islam yang dewasa ini
Islam menjadi sasaran serangan kaum yang benci terhadap Islam, terlebih setelah
timbulnya analisis dari seorang pakar futurulog Samuel Huntington yang
menyatakan bahwa setelah runtuhnya masa perang dingin dengan Uni Soviet
(komunis), akan terjadi pertentangan antara peradaban Barat dengan
Islam.


Dalam menyikapi persoalan poligami, ada dua ayat dalam surat An-Nisa
yang saling berhubungan untuk mengambil suatu natijah hukum, atau paling tidak
mengenal lebih proporsional kedudukan poligami dalam Islam.

Ayat pertama
terdapat dalam surat An-Nisa ayat 3 yang berbunyi:
وان
خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب
لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فان خفتم
ألاتعدلو فواحدة أو ما ملكت أيمنكم ذلك أدنى
ألا تعولوا


“Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinlah wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinlah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya (Ani-Nisa: 3)

Ayat berikutnya
firman Allah SWT:

ولن تستطيع أن تعدلوا بين
النساء ولو حرصتم فلا تميلوا كل الميل
فتذروها كالمعلقة وأن تصلحوا وتتقوا فا ن
الله كان غفورا رحيما

“Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walau
pun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu jangan kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung, dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(An-Nisa: 129)

Dari dua ayat di atas dapat diambil kesimpulan sebagaimana
yang dipahami pula oleh Jumhur muslimin sejak zaman Nabi, sahabat, tabi’in
dan masa tumbuhnya ijtihad sebagai berikut:

  1. Hukum poligami hingga empat
    isteri adalah mubah, karena lafadz “fankihu” walaupun berupa amr
    (perintah) tapi mengandung makna mubah, bukan wajib. Sebagaimana hal itu pun
    menjadi pendapat jumhur mujtahidin dalam setiap masa. Oleh karena itu
    pendapat yang mengatakan bolehnya berpoligami lebih dari empat adalah
    pendapat yang tidak berdasar.
  2. Mubahnya hukum pilogami harus dengan syarat dapat berbuat
    adil terhadap para isteri. Jika tidak yakin bahwa dirinya tidak dapat berbuat
    adil, maka tidak boleh kawin poligami. Namun demikian bila orang tersebut
    melangsungkan perkawinannya, maka akad nikahnya tetap sah menurut ijma’
    (konsensus) ulama meskipun ia tetap dihukumi berdosa. Para ulama sepakat,
    sebagaimana dikuatkan oleh tafsir dan perbuatan rasulullah SAW, bahwa yang
    dimaksud dengan adil di sini (ayat pertama) adalah adil dalam pengertian segi
    materi, seperti rumah, pakaian, makanan, minuman dan segala sesuatu yang
    berhubungan dengan mu’amalah kepada isteri.
  3. Ayat pertama menunjukkan
    persyaratan kemampuan memberi nafkah kepada isteri kedua dan anak-anaknya.
    Hal ini berdasarkan lafadz “an laa ta’uulu” yang berarti
    jangan memperbanyak keluargamu. Ini merupakan tafsir ma’tsur dari Imam
    Syafi’i. Persyaratan ini merupakan syarat keagamaan bukan syarat
    qodlo
    ’ (sah atau tidaknya perbuatan).

  4. Ayat kedua memberi gambaran bahwa
    berbuat adil dalam mencintai isteri-isteri adalah suatu hal di luar
    kemampuan. Oleh karena itu sang suami hendaknya jangan terlalu berpaling
    membiarkan isteri pertama sehingga terkatung-katung, digauli tidak,
    diceraikan pun tidak. Tapi hendaknya sang suami dapat menggaulinya dengan
    lemah lembut dan baik semampunya, sehingga dapat meraih cintanya lagi. Oleh
    sebab itu ketika Rasulullah SAW berusaha berbuat adil terhadap
    iateri-isterinya beliau berkata:

اللهم
هذا قسمي فيما أملك فلا تؤاخذني فيما لا
أملك

“Ya Allah, inilah bagaianku yang ku miliki, janganlah Kau
hukum aku pada apa yang tak ku miliki”

Namun demikian, di sisi lain ada
sebagian orang memahami kedua ayat di atas sebagai sesuatu larangan
berpoligami. Mereka mendasrkan pendapatnya bahwa ayat pertama mensyaratkan adil
terhadap isteri-isteri, sedangkan ayat ke dua menunjukkan kemustahilan
melakukannya. Sehingga, menurut mereka, poligami disyaratkan dengan suatu
syarat yang mustahil terwujud, jadi poligami adalah dilarang.

Tentunya pendapat mereka ini mempunyai kelemahan dan dapat dibantah dari beberapa
tinjauan:


  1. Bahwa dalil yang menjadi syarat pada ayat pertama bukan adil yang
    disebutkan pada ayat kedua. Yang dimaksud dengan adil pada ayat pertama
    adalah adil yang masih mungkin dapat dilakukan suami, yaitu adil yang
    bersifat materi seperti pakaian, nafkah dan lain sebagainya. Sedangan adil
    yang tidak mungkin terwujud –seperti yang tersebut pada ayat ke dua- adalah
    adil maknawi (abstrak) seperti rasa cinta dan kecendrungan hati. Sebab
    biasanya bila seorang kawin lagi dengan wanita kedua, ia lebih cenderung
    berpaling dari isteri pertama. Namun demikian, adil bersifat materi tetap
    menjadi syarat kelangsungan berpoligami.

  2. Allah hanya memberi taklif (kewajiban)
    kepada hambanya yang mampu, padahal dalam ayat kedua jelas-jelas Allah
    menyatakan ketidakmampuan manusia berbuat adil maknawi. Oleh karena itu Allah
    tidak akan menghukum dan menyalahkan orang yang memang jelas-jelas tidak
    mampu melakukannya dan oleh karena itu, adil pada ayat kedua tidak di tuntut
    oleh Allah SWT.

  3. Jika Allah melarang poligami, maka mengapa Allah berfirman pada
    ayat pertama “Nikahilah wanita-wanita yang baik; dua, tiga, empat”?. Jika
    Allah bermaksud melarang, mengapa tidak langsung saja berkata: “Janganlah
    kawin dua dan seterusnya”?
  4. Jika poligami dilarang dalam Islam, mengapa Rasulullah SAW
    menyetujui poligami para sahabat?. Sebagaimana kita ketahui bahwa Rasululla
    SAW pernah mengizinkan poligami hingga empat wanita tatkala banyaknya orang
    masuk Islam dan memiliki lebih dari empat isteri, lalu rasulullah SAW
    membatasinya hingga empat saja.

Di samping itu sejarah membuktikan
bahwa para sahabat, tabi’in dan para ulama ada yang berpoligami. Maka tidak
mungkin pula kita mengatakan bahwa mereka salah dalam memahami dua ayat di
atas. Karena para sahabat, tabi’in dan ulama adalah orang yang mengerti akan
ajaran Islam.

Islam dan Reformasi
Poligami

Sebagaimana disebutkan di awal Tulsan ini bahwa praktek
poligami telah ada sebelum datangnya Islam. Maka ketika Islam datang ia telah
melakukan beberapa reformasi dalam bidang poligami, di antaranya adalah
pembatasan poligami hingga empat wanita saja. Karena sebagaimana ditemukan pada
masyarakat Jahiliyyah bahwa seorang laki-laki boleh mengawini lebih dari empat
wanita.


Bentuk refomasi lainnya adalah bahwa Islam menekankan berbuat adil
terhadap isteri-isteri. Contoh yang jelas dalam masalah ini adalah ketika
Rasulullah SAW sakitnya keras dan mendekati kematian. Beliau ingin sekali
bermalam di setiap isteri-isterinya hingga ketika tidak bisa lagi berjalan
beliau meminta ijin kepada isteri-isterinya untuk tinggal di tempat Aisyah
ra.


Bentuk reformasi lain adalah bahwa Islam telah menanamkan rasa takut
kepada Allah SWT. Dengan demikian ketika menghadapi isterinya, seorang muslim
tidak berbuat semena-mena dan semaunya. Ia menjadi orang tawadhu’ dan berbuat
baik terhadap isteri-isterinya.


Dengan pendidikan Islam seperti inilah
terwujudnya ketenteraman, hilangnya cemburu buta dan kerukunan di antara
anggota keluarga. Rumah tanggal ideal seperti inilah yang pernah dialami para
sahabat dan orang-orang yang bertakwa pada masa permulaan
Islam.


Urgensi Poligami Secara Sosial.

Dalam sekala sosial, poligami mempunayi beberapa urgensi:

Pertama, dalam situasi normal.
Sering terjadi populasi wanita melebihi jumlah pria, sebagaimana yang ditemukan
di negara-negara Eropa Utara. Pada masa di mana tidak ditemukan peperangan,
biasanya jumlah kaum hawa lebih banyak dari kaum Adam. Salah seorang dokter
bersalin di Helsinky, Finlandia pernah berkata bahwa setiap terjadi kelahiran
empat bayi, satu dari padanya adalah bayi laki-laki.

Dalam kondisi seperti ini, maka poligami merupakan persoalan yang urgen, baik ditinjau dari
kemaslahatan etika maupun sosial. Poligami dalam kondisi ini lebih baik dari
pada ditemukannya wanita-wanita yang tak mendapatkan jodoh bergentayangan di
jalan-jalan, tidak punya keluarga, tidak pula rumah. Keadaan ini dapat
mengundang kejahatan dan perilaku negatif serta penyakit
sosial.


Oleh karena itu sejak awal abad ini, para pakar Barat yang sadar
akan bahaya pelarangan poligami telah mewanti-wanti bahaya pelarangan tersebut
dengan timbulnya kenakalan wanita dan lahirnya anak-anak tanpa ayah. Dalam
edisinya tanggal 20 April 1901 harian “Lagos Weekly Record” pernah memuat
tulisan yang dinukil dari dari harian “London Trust” tulisan seorang wanita
Inggris yang berbunyi: “Telah banyak wanita jalanan di tengah-tengah
masyarakat kita, tapi sedikit sekali para ilmuwan membahas sebab-sebabnya. Saya
adalah seorang wanita yang hati ini merasa pedih menyaksikan pemandangan ini.
Tapi kesedihanku tak bermanfaat apa-apa, maka tidak ada jalan lain kecuali
menghilangkan kondisi ini. Maka benarlah apa yang dilakukan seorang ilmuwan
bernama Thomas, ia telah melihat penyakit ini dan menyebutkan obatnya, yaitu
“membolehkan laki-laki kawin dengan lebih dari satu wanita”. Dengan cara
inilah segala musibah akan berlalu, dan genarasi wanita kita akan mempunyai
rumah tangga. Bencana yang besar kini adalah karena memaksa pria Eropa untuk
cukup kawin dengan satu orang wanita”.

Kedua, dalam kodisi di mana jumlah
laki-laki lebih sedikit dari jumlah wanita akibat pertempuran atau bencana
alam. Dalam kondisi ini maka poligami menjadi urgen bagi tatanan sosial seperti
yang terjadi pada masa perang dunia.

Urgensi Poligami Secara
Individual

Di samping urgensi poligami secara sosial, ada beberapa
hal sehingga secara individual pun poligami menjadi sesuatu yang sangat urgen.
Antara lain adalah:

Pertama, bila seorang isteri mandul sementara sang suami
ingin sekali memiliki keturunan. Keinginan memiliki keturunan adalah sesuatu
hal yang wajar dan fitrah. Dalam situasi seperti ini hanya ada dua kemungkinan:
mencerai isteri mandul atau kawin lagi. Tentunya mempertahankan perkawinan bagi
seorang laki-laki dan wanita adalah lebih baik dari pada bercerai. Biasanya
seorang wanita yang mandul lebih memilih dimadu dari pada hidup sendirian.
Sebab bila memilih cerai, ia khawatir tidak ada lelaki lain yang ingin
mengawininya.

Kedua, bila isteri mempunyai suatu penyakit yang menyebabkan
suami tidak bisa menggaulinya. Bila dicerai biasanya suami akan merasa malu
terhadap masyarakatnya, demikian juga isteri akan merasa tidak berarti lagi
dalam hidupnya. Sementara itu kebutuhan biologis suami harus tetap dipenuhi.
Oleh karena itu dalam keadaan demikian, maka poligami adalah jalan keluar dari
persoalan di atas.

Ketiga, keadan laki-laki mempunyai kecendrungan hiper sex
yang bila hanya satu isteri, kebutuhannya tidak terpenuhi, baik karena sang
isteri memasuki masa monopause maupun disebabkan datang bulan (haid). Dalam
keadaan ini tentunya poligami adalah tindakan yang paling baik dibandingkan
harus “jajan” di tempat-tempat mesum.

Dari keterangan di atas tentang
beberapa keadaan di mana poligami menjadi begitu urgen bagi seorang laki-laki,
timbul pertanyaan, mengapa tidak diberi kesempatan pula kepada wanita untuk
melakukan hal yang sama, yaitu dengan melakukan poiandri (mempunyai lebih dari
satu suami) ?. Jawaban atas pertanyaan ini dapat dikemukakan dengan simpel
saja. Yaitu bahwa persamaan hak dalam masalah poligami antara laki-laki dan
wanita adalah perkara yang mustahil. Sebab berapa pun jumlah suami seorang
wanita, ia tetap akan hamil dan melahirkan setahun sekali. Berbeda dengan
laki-laki yang bisa saja mempunyai beberapa anak dari isteri-isterinya. Bila
seorang wanita mempunyai lebih dari satu suami, kepada siapakah anaknya nanti
akan dinisbatkan ? apakah kepada mas Slamet, le Toha atau kang Dandi ? atau di
sebut bin rame-rame ?. Di samping itu, siapakah yang akan menjadi kepala
keluarganya ? Mungkinkah kepala keluarga dipegang oleh orang
banyak?.


Sisi Negatif Poligami.

Selain beberapa keunggulan yang terdapat pada sistem poligami, kita juga tidak menutup mata
bahwa secara empiris masih dijumpai sisi negatif dari poligami. Sisi negatif
ini timbul disebabkan beberapa faktor. Namun faktor utama dari segalanya adalah
kembali kepada manusianya itu sendiri. Banyak dari kalangan kita yang
menyalahgunakan kebolehan polgami ini, di samping itu keislaman dan kesalehan
orang yang bersangkutan masih kurang dari yang diharapkan. Maka banyak terjadi
berbagai persoalan negatif yang ditimbulkan poligami, antara
lain:


  1. Timbulnya rasa dengki dan permusuhan di antara para isteri.
    Persaaan ini biasanya timbul karena suami lebih mencintai satu isteri dari
    pada isteri yang lain, atau karena kurang adanya keadilan. Tapi hal ini
    jarang terkadi bila sang suami dan isteri mengerti hak dan
    kewajibannya.

  2. Perasaan di atas juga biasanya terwarisi hingga kepada
    anak-anaknya dari masing-masing isteri, sehingga rasa persaudaraan tidak ada
    lagi.
  3. Timbulnya
    tekanan batin bagi sang isteri pertama, karena biasanya sang suami lebih
    mencintai isteri barunya. Perasaan ini mengakibatkan isteri pertama kurang
    bahagia dalam hidupnya.
  4. Poligami juga menjadi penyebab timbulnya genarasi santai,
    mereka lebih suka bermejeng di jalanan untuk menghabis-habiskan masa mudanya.
    Hal ini juga disebabkan karena kurangnya perhatian dari sang
    ayah.

Dalam menjalani peraturan agama, memang ada beberapa hal
yang harus kita hadapai dengan pengorbanan. Dalam poligami, kenyataan itu
hampir sama yang ditemukan pada perang (jihad). Di sana ada yang sakit, terluka
dan tewas menjadi korban. Tapi bila timbulnya korban adalah suatu hal yang
harus terjadi karena suatu kondisi, maka justru segala pengorbanan dan
penderitaan harus dipikul. Oleh karena itu Dr. Musthofa Siba’i dan Muhammad
Qutub menyatakan bahwa poligami dapat dilaksanakan hanya dalam keadaan darurat.
Oleh sebab itu bila seseorang melakukan sesuatu yang menimbulkan pengorbanan
dan penderitaan tanpa didasari keadaan darurat, maka sama saja orang itu
seperti orang gila.

Sementara itu di sisi lain, kita tidak pula mengatakan bahwa
perasaan yang dialami wanita sebagai sesuatu yang menafikan hukum poligami.
Sebab bila seorang laki-laki tetap melirik wanita lain, akankah ketiadaan hukum
poligami menghilangkan kecenderungan lelaki tersebut ? Bukankah ia bisa saja
menghianati isterinya ? Ia bisa juga berhubungan dan bergaul dengan wanita lain
tanpa diketahui sang isteri. Dan hal ini telah terjadi, bahkan meskipun sudah
diketahui sang isteri, tapi ia tidak berbuat apa-apa. Inilah yang sering banyak
terjadi di masyarakat Barat dan orang-orang yang suka menyeleweng (dalam arti
yang sebenarnya, tanpa nikah yang sah). Bila demikian halnya, bukankah lebih
baik bila isteri, suami dan wanita lain itu sama-sama tahu dan saling mengenal
serta saling rela dan sah ?. Bukankah lebih baik bila dilakukan tanpa melanggar
hukum Allah dan RasulNya?. Sehingga keturunan pun jelas dan terhindar dari
masksiat?.

Poligami dan Umat Islam
Kini

Setelah timbulnya kesadran umat Islam tentang besarnya
pengaruh pemikiran Barat melalui jalur informasi, buku-buku dan para
orientalisnya, para pakar Islam berupaya untuk menata kembali masyarakat Islam
agar bangkit dari tidurnya.


Di antara pemikiran Barat yang banyak
mempengaruhi pola pikir umat Islam adalah melempar keraguan kepada umat Islam
tentang hukum poligami. Sehingga persoalan ini menjadi perdebatan di kalangan
umat Islam. Sayangnya, banyaknya timbul poligami di kalangan umat Islam dewasa
ini justru terjadi di saat umat Islam tidak mengenal agamanya, jauhnya dari
hukum Islam dan akhlak Islam sehingga menyebabkan timbulnya penyakit sosial di
masyaraklat muslim. Di tengah kondisi keterbelakangan inilah kaum orientalis
Barat menyerang agama Islam dengan sangat empuknya.

Oleh Karena itu,
para pakar muslim terpanggil untuk menjawab segala tuduhan dan serangan mereka
tentang poligami. Di antara para pakar yang banyak menanggapi persoalan ini
adalah Syeikh Muhammad Abduh, Beliau menulis tentang bahaya poligami yang
beliau saksikan sendiri pada masanya. Beliau pernah menyampaikan ceramah di Al
Azhar yang salah seorang mahasiswanya bernama Rasyid Ridlo. Perkuliahan ini
kemudian dimuat dalam majalah “Al Mannar” yang kemudian dikutip dalam kitab
tafsirnya (juz 4/349).

Abduh berkata: “Orang yang menghayati kedua ayat
(maksudnya ayat An-Nisa yang tersebut di permulaan tulisan ini) ia akan
mengerti bahwa diperbolehkannya poligami dalam Islam adalah sebagai suatu
perkara yang mempunyai ruang sempit, ia seakan satu darurat yang hanya
diperbolehkan bagi yang membutuhkannya dengan persyaratan jujur dan adil serta
tidak berlaku lalim.. Bila melihat kerusakan yang terjadi di masyarakat kita
dewasa ini akibat poligami, kita meyakini bahwa sulit sekali membina
(mentarbiyah) masyarakat yang sudah banyak terjangkit poligami. Karena rumah
yang di sana terdapat dua isteri seakan tidak pernah ditemukan ketenangan,
tidak karuan, bahkan suami dan isteri-isteri seakan bekerja sama dalam
menciptakan kehancuran rumah tangga, seakan setiap pribadi adalah musuh bagi
lainnya hingga menjalar kepada anak-anaknya, anggota keluarga dan
masyarakat.


Abduh berkata pula: “Adalah poligami pada masa permulaan Islam
mempunyai beberapa manfaat, antara lain menyambung keturunan dan persaudaraan
dan tidak menyebabkan kerusuhan seperti sekarang ini. Sebab agama sudah
tertanam kuat pada diri kaum wanita dan pria. Oleh karena itu hendaknya
janganlah membiarkan kaum wanita tidak mengerti bagaimana menghormati suami dan
menyayangi anak. Jangan membiarkan wanita dalam kebodohannya tentang agama.
Seandainya wanita terdidik dengan pendidikan agama, ia menjadikan agama di atas
segala perasaan dan cemburunya sehingga tidak akan terjadi bahaya yang
diakibatkan poligami.

Beliau berkata pula: “Dengan demikian kita mengetahui
bahwa poligami adalah sebagai sesuatu yang haram ketika seseorang takut tidak
bias berbuat adil”.

Namuan demikian di bagian lain Abduh berkata: “Dari
penjelasan terdahulu, bukan berarti bahwa bila terjadi akad nikah (poligami)
maka tidak sah akadnya. Sebab keharaman sesuatu tidak berarti batalnya akad.
Karena bisa saja berbuat zalim ketika mulai berumah tangga kemudian sadar dan
taubat sehingga mencapai hidup bahagia”.

Dari ucapan Muhammad Abduh di atas,
Musthofa Siba’i menyimpulkannya sebagai berikut:

  1. Abduh tidak melihat adanya
    bahaya di masyarakat yang timbul akibat poligami pada masa permulaan
    Islam
  2. Abduh
    melihat adanya bahaya yang timbul di masyarakat akibat poligami sebagaimana
    ia saksikan

  3. Abduh juga mengusulkan pentingnya peraturan yang dapat
    meminimalkan bahaya poligami di masyarakat.

Walaupun secara
eksplisit Abduh tidak melarang poligami, namun sebagian orang mungkin
memahaminya sebagai suatu larangan. Dalam hal ini kita tidak sependapat dengan
orang yang memahaminya sebagai suatu larangan. Karena pelarangan poligami sama
halnya dengan merubah hukum yang telah ditetapkan Allah SWT. Di samping itu
juga poligami masih tetap diperlukan dalam keadaan tertentu bagi suatu bangsa,
baik bersifat individual maupun sosial.

Rasulullah SAW dan Poligami Sebelum mengakhiri tulisan tentang poligami, kurang lengkap rasanya bila kita tidak
membahas tetang perkawinan dan poligami Rasulullah SAW.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa di antara beberapa hukum yang diturunkan kepada Rasulullah SAW
untuk umatnya, ada beberapa hukum yang hanya khusus diberlakukan kepada
Rasulullah SAW. Di antaranya adalah kewajiban qiyamullail bagi
Rasulullah SAW dan dibolehkannya berpoligami lebih dari empat wanita.
Kekhususan ini disebabkan beliau adalah seorang Rasul dan karena ada hikmah
tertentu yang Allah SWT inginkan.


Namun demikian pihak musuh Islam selalu
mencari jalan untuk dapat mengkritik Rasulullah SAW agar umatnya tidak lagi
menaruh hormat kepada nabinya atau menanamkan keraguan terhadap rasulnya.
Karenanya mereka tidak segan-segan melempar tuduhan kepada pribadi
beliau.


Di antara tuduhan mereka terhadap Rasulullah SAW adalah masalah
poligami. Mereka menuduh bahwa Rasulullah SAW adalah seorang yang sangat haus
sex, tukang main perempuan dan lain sebagainya. Oleh karena itu ia tidak puas
hanya dengan satu wanita. Ia juga sangat berbeda dengan Yesus (maksud mereka
Isa as). Isa adalah orang yang suci, tidak pernah mengumbar nafsunya, tidak
seperti Muhammad.

Untuk menjawab tuduhan di atas, ada dua hal penting yang
harus kita ingat:

  1. Rasulullah SAW tidak pernah mengawini wanita lebih dari
    satu, kecuali setelah beliau memasuki usia senja, yaitu usia lebih dari 50
    tahun.
  2. Seluruh
    isteri-isteri Rasulullah SAW berstatus janda, kecuali hanya Aisyah
    ra.

Dari dua point ini dapat kita simpulkan, bahwa meskipun
sebagai seorang manusia dan mempunyai nafsu birahi serta tidak menutup
kemungkinan ada dorongan naluri manusia dalam mengawini wanita-wanita, tapi di
balik itu semua ada maksud luhur. Oleh karena itu untuk mengatakan bahwa
perkawinan Rasul dengan banyak wanita sama denga poligami yang dilakukan oleh
kebanyakan orang sekarang atau disamakan dengan kebutuhan sex orang Barat
adalah sebagai sesuatu yang naïf. Hal ini dapat dikemukakan beberapa alasan,
selain dua alasan pokok di atas:


  1. Andai kata semata-mata hanya dorongan
    syahwat saja, mengapa Rasulullah SAW tidak memilih yang gadis-gadis saja?
    Padahal Rasulullah pernah menganjurkan sahabat Jabir bin Abdullah untuk lebih
    baik mengawini gadis dari pada janda karena seorang gadis lebih bisa
    bermesraan dan bercanda.
  2. Seandainya Rasul mau gadis, bukankah beliau bisa saja
    meminta kepada sahabat-sahabatnya untuk memberikam anak gadisnya kepada
    Rasulullah SAW ? Bukankah kesetiaan sahabat begitu besar kepada Rasulullah
    SAW dan siap memberikan apa saja yang diminta ?.

Oleh karena itu,
tentu di balik poligami Rasul ada hikmah yang Allah kehendaki. Di antara
hikmah-hikmah tersebut adalah:


  1. Hikmah Pendidikan


Dengan poligami, Rasulullah SAW banyak
mengeluarkan wanita yang alim yang dapat mengajarkan wanita lainnya.
Isteri-isteri Rasulullah SAW itulah yang mengajarkan agama kepada wanita
muslimah, khususnya tentang masalah-masalah yang bersifat feminisme
(kewanitaan). Karena sering sekali Rasulullah SAW malu dalam menjawab persoalan
itu, apalagi bila masalah yang ditanyakan amat “sensitive”

Aisyah ra meriwayatkan bahwa wanita Anshor datang kepada Rasulullah SAW bertanya tentang
cara membersihkan haid. Lalu Rasulullah SAW mengajarkannya. Beliau berkata:
“Ambillah kapas yang ada wewangiannya, lalu bersihkanlah dengannya”. Wanita
itu berkata: “Bagaimana membersihkannya?”. Rasul menjawab: “Bersihkanlah
dengannya”. Ia bertanya lagi: “Bagaimana membersihkannya ?”. Rasul
menjawab: “Subhanallah ! bersihkan saja dengannya”. Mendengar hal ini,
Aisyah ra langsung menarik tangan wanita tersebut lalu berkata: “Letakkanlah
kapas tadi di tempat ini dan itu, lalu hilangkan bekas darahnya”. Aisyah ra
berkata: “Aku jelaskan tempat yang mesti diletakkan
kapas”.


2. Hikmah Tasyri”
(perundang-undangan)


Hikmah ini dapat kita saksikan ketika
terjadi perkawinan Rasulullah SAW dengan Z

ainab binti Jahsy Al-Asadi, yaitu terhapusnya kebiasaan
menganggap anak angkat (adopsi) seperti anak nasab, yaitu menyamakan hukumnya
dalam hal waris, perkawinan dan lain sebagainya.

Pada saat itu, bangsa Arab selalu menyebut anak angkat Rasulullah SAW yang bernama Zaid bin
Haristah dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Hal ini dimaklumi, karena kebiasaan
itu sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah. Oleh karena itu demi
menghapus kebiasaan ini, Rasulullah SAW mengawini Zainab yang sebelumnya telah
dikawini oleh Z
aid bin Haristah. Sebagai manusia, Rasulullah SAW takut bila orang munafik dan orang
yang benci akan berkata: “Lihat tuh, Muhammad telah kawin dengan isteri
anaknya”. Tapi kekhawatiran itu sirna setelah turun firman Allah
SWT:


وتخشى الناس والله أحق أن تخشاه
فلما قضى زيد منها وطرا زوجناكها لكيلا يكون
على المؤمنين حرج فى أزواج أدعيائهم اذا قضوا
منهن وطرا وكان أمر الله
مفعولا

“Dan kamu (Muhammad) takut kepada manusia, sedang
Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala
Z

aid telah
mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu
dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini)
isteri-isteri anak-anak angkat mereka apabila anak-anak angkat itu telah
menyelesaikan keperluannya dari pada isteri-isterinya, dan adalah ketetapan
Allah itu pasti terjadi” (Al Ahzab; 37)

3. Hikmah Secara Sosial


Hikmah ini terlihat pada perkawinan beliau
dengan puteri Abu Bakar; Aisyah ra dan puteri Umar; Hafsah. Perkawinan
Rasulullah SAW ini sebagai penghargaan yang sangat besar yang pernah dirasakan
kedua sahabat beliau. Dan Rasulullah SAW pun layak memberikan penghargaan yang
besar ini. Sebab perjuangan dan jerih payah yang pernah dirasakan kedua
sahabat terhadap Islam begitu besar. Maka suatu penghargaan besar bila
Rasulullah SAW mengawini puteri-puteri mereka. Sehingga kecintaan Rasulullah
SAW dan mereka begitu kuat.


4. Hikmah Secara Politis

Perkawinan Rasulullah SAW dengan beberapa wanita
mengakibatkan bersatunya pengikut kabilah-kabilah yang berbeda, karena
sebagaimana kita ketahui bahwa apabila seseorang berkeluarga dengan anggota
suku lain, maka ia akan menjadi bagian dari suku itu, begitu pula sebaliknya.
Hikmah perkawinan Rasulullah SAW secara politis itu dapat kita lihat ketika
Rasulullah SAW mengawini beberapa wanita dari suku yang berbeda, antara
lain:


A. Juwairiyah bin Al Harits

Ia adalah putri dari perempuan Bani
Musthaliq. Ketika terjadi peperangan, ia dan kawannya menjadi tawanan kaum
muslimin. Ketika dihadapkan kepada Rasulullah SAW, beliau menawarkan kepadanya
apakah ia ingin bebas dengan membayar tebusan yang akan dibayarkan Rasulullah
SAW dan menikahinya. Juwairiyah pun menerima tawaran tersebut. Setelah
Rasulullah menikahinya, kaum muslimin pun merasa sungkan bila masih menawan
tahanan dari kaum anak pemimpin Bani Musthaliq yang kini menjadi isteri
Rasulullah SAW itu. Mereka berkata: “Pantaskah kita menawan para besan
Rasulullah SAW?”. Akhirnya para tawaran dari Bani Musthaliq pun dibebaskan.
Dan akibat dari kemurahan kaum muslimin ini mereka (Bani Musthaliq)
berbondong-bondong masuk Islam.


B. Sofiyah binti Huyyay bin Akhtab


Ia adalah termasuk pembesar dari Bani Quraidhoh. Suaminya telah
tewas dalam peperangan Khaibar. Ketika ia menjadi tawanan, salah seorang
pasukan muslim mengajukan usul bahwa sebaiknya wanita ini diserahkan kepada
Rasululah SAW. Ketika sampai dihadapan Nabi, beliau menawarkan dua hal; apakah
dibebaskan dan menjadi isteri Rasulullah SAW atau dibebaskan hingga bertemu
keluarganya?. Atas dua pilihan ini, Sofiyah memilih yang pertama karena ia
melihat kewibawaan Nabi. Ia pun masuk Islam yang kemudian diikuti oleh
kaumnya.


C. Romlah binti Abu Sufyan

Ia adalah puteri Abu Sufyan, salah
seorang tokoh Quraisy di Makkah yang sangat memusuhi Nabi dan kaum muslimin.
Puterinya telah masuk Islam ketika masih di Makkah dan pernah hijrah dengan
suaminya ke Habasyah. Suaminya meninggal dunia di Habasyah, maka tinggallah ia
sendiri tanpa ayah dan suami. Ketika Rasulullah SAW mengetahui hal itu, beliau
mengirim surat kepada raja Najasyi untuk disampaikan kepada Romlah bahwa Nabi
ingin menikahinya. Mendengar berita ini, Romlah sangat gembira karena tidak
mungkin baginya untuk kembali kepada ayahnya.

Ketika berita ini sampai kepada Abu Sufyan, ia pun seperti menyetujuinya, lalu membanggakan
Nabi yang telah menjadi suami puterinya. Keadaan ini membuat sikap Abu Sufyan
dan kaum Quraisy berubah menjadi lembut terhadap kaum muslimin yang masih
berada di Makkah yang sebelumnya sangat mengganggu.

Penutup

Dari uraian di atas, jelas bagi kita
bahwa betapa sempurnanya ajaran Islam. Keberadaan aturan poligami masih tetap
relevan hingga kini, terlebih di tengah-tengah zaman globalisasi seperti
sekarang ini, di mana menurut catatan sensus menyebutkan bahwa jumlah kaum
wanita lebih banyak dari kaum pria. Lalu akan dikemanakankah sisa kaum wanita
bila lelaki hanya dibatasi kawin hanya dengan satu orang wanita?. Banyak sudah
akibat yang ditimbulkan dari larangan poligami, baik secara resmi ataupun tidak
resmi. Merajalelanya perzinahan, tempat-tempat maksiat dan lainnya, anak-anak
yang tidak tahu kepada siapa harus menyebut ayah adalah salah satu akibat
laranga poligami. Telah bertahun-tahun lamanya penyakit sosial ini timbul,
bahkan dari tahun ke tahun selalu menampakkan peningkatan saja. Lalu kemanakah
para pakar psikologi, sosial, kriminil, alat negara dan lain sebagainya dapat
memecahkan masalah ini?. Hanya satu jalan keluar dari kemelut ini, yaitu
kembali kepada Islam.


Di sisi lain, kita juga tidak mentolelir
sikap para poligamis yang berbuat seenaknya terhadap isteri-isterinya, bersikap
tidak adil dan mengenyampingkan tanggung jawab isteri dan anak-anaknya. Mereka
merasa bahwa dengan kekayaannya dapat berbuat seenak-enaknya. Kita juga
menyesalkan beberapa sikap wanita muslimah yang mata duitan dan rela dimadu
hanya karena calon suami kaya. Gejala-gejala ini patut kita waspadai dengan
mendidik dan mempersiapkan kaum pria dan wanita yang dapat mengerti dienul
Islam dan mengerti akan hak dan tanggung jawab masing-masing. Wallahu
a’lam.


Makkah Al Mukarramah, Jum’at 1 Sya’ban 1419 H/22 Nopember
1998


Bahan Rujukan:

  1. Al Qur’an Al Karim, Departemen Agama
  2. Al-Mar’atu bayna al-Fiqh wal
    Qonun, Dr, Musthofa Siba’i
  3. Syubuhat Haula al-Islam, Muhammad Qutub
  4. Rowa’i al-Bayan, Muhammad Ali
    As Shobuni

  5. Syubuhat haula ta’ddud zaujatur Rasul SAW, Muhammad Ali
    As-Shobuni

  6. Islam Dalam Berbagai Dimensi, DR. Daud
    Rasyid

Januari 22, 2008 at 1:43 am Tinggalkan komentar

Qadha Sholat

Qadha Sholat

Assalamualaikum Wr. Wb Ustadz, Ada yang ingin ana tanyakan sehubungan dengan bulan Ramadhan. Apakah ada hukum yang mewajibkan kita untuk mengqodo sholat fardlu yang telah kita tinggalkan? Bila ada, nash apa yang bisa dijadikan hujjah? Adapula yang mengatakan bahwasanya sholat sunnah sebanyak 70 kali baru akan mengganti sholat fardlu 1 kali. Benarkah itu? (Beserta nashnya). Bila benar, untuk bulan Ramadhan ini, manakah yang harus diutamakan, sholat qiyamul lail (yang didalamnya ada tarawih) atau sholat mengganti sholat fardlu? Demikian pertanyaan ana.
Jazakumullahu Khairan Katsiran

Anonim – di Bandung

Jawaban : Wa’alaikum salam Wr. Wb.    

Sholat yang ditinggalkan karena Haid tidak wajib diqadla.  Definisi Ada’ adalah menjalankan ibadah di dalam waktunya. Sedangkan Qadla adalah menjalankan ibadah setelah lewat waktunya.  

Apabila seseorang mengakhirkan Sholat hingga lewat waktunya, kerana uzur seperti tidur atau lupa, maka wajiblah baginya untuk men-qadla Sholat yang ditinggalkan tesebut. Dan apabila ia meninggalkan Sholat dengan sengaja dan tanpa uzur, maka itu termasuk perbuatan ma’siat, dan wajib baginya meng-qadla Sholat tersebut dan bertaubat.

Dalam sebuah hadist riwayat Muslim, dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda :”Barang siapa tertidur dan meninggalkan Sholat, maka hendaklah ia bergegas Sholat ketika ingat”.  Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika kembali dari peperangan Khaibar, berjalan pada malam hari bersama para sahabat, dan ketika beliau merasakan kantuk, memerintahkan para sahabat untuk berhenti dan beristirahat dan berkata pada Bilal “Berjaga-jagalah malam ini”, kemudian Bilal shalat beberapa rekaat dan berjaga-jaga. Rasulullah SAW tertidur bersama para sahabat, dan ketika mendekati waktu fajar, Bilal bersandar pada kuda tunggangannya sambil menghadap pada arah fajar, Bilal merasakan kantuk dan akhirnya tertidur, tak satupun dari para sahabat terbangun hingga panas matahari mengenai mereka, yang pertama kali bangun adalah Rasulullah SAW, terkejut dan berkata pada Bilal, “Hai Bilal”, kemudian Bilal menjawab “telah menimpa padaku seperti yang menimpa padamu ya Rasul”(kantuk). Kemudian Rasulullah SAW berkata pada para sahabat “Tambatkan tunggangan kalian”, kemudian para sahabat melakukannya. Rasulullah SAW berwudlu dan memerintahkan pada Bilal untuk beriqomat, kemudian Rasulullah bersama para sahabat shalat (qadla) berjamaah dan ketika selesai shalat Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa lupa mengerjakan shalat, maka kerjakanlah shalat ketika Ia mengingatnya, dan sesungguhnya Allah SWT telah berfirman “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”.

Wajib qadla shalat yang ditinggalkan, merupakan pendapat empat mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali dan berdasarkan perintah dan tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.  Pandangan yang mengatakan tidak wajib qadha’ adalah pendapat Imam Ibn Taymiyah, Ibn Hazmin, ia juga diamalkan oleh Umar bin Khattab, Ibn Umar, Umar abd Aziz, Ibn Sirin, dan lain-lain. Hujah mereka: Islam telah mewajibkan solat dan tidak boleh menangguhkannya walaupun sakit, musafir dalam peperangan; ditegaskan oleh Imam Ibn Taymiyah tidak boleh mengqadha’ solat yang tertinggal, cukup dengan taubat dan solat sunat yang banyak untuk menggantikannya   

Mengqodlo sholat fardlu di bulan Ramadhan pada malam hari, insya Allah mendapatkan pahala qiyamullail juga, karena yang disebut qiyamullail adalah mendirikan sholat di malam hari, menqodlo sholat fardlu tentu termasuk di dalamnya.

Januari 22, 2008 at 1:25 am Tinggalkan komentar

Older Posts


April 2024
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930